METODE PEMBINAAN AKHLAK




UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
KELAS A2 SEMESTER II 2015/2016
Jln.Taman Siswa No9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode Pos
59427,Telp./Fax (0291)593132
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II Pembahasan
A.
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan rasa syukur bagi kami sampaiknan dan hanya milik Allah SWT. Karena
dengan rahmat dan karunianya lah kami bisa menyalesaikan tugas maklah ini,
serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan
bagi kita semua. Semoga dengan selalu bersholawat kepadanya kita nanti
syfaatnya di padang ma’syar kelak amin-amin YaRabbal’alamin
Selanjutnya kami pemakalah megucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing yang telah memberikan pemahaman dan tuntan kepada kami sebagai
pemkalah serta waktu yang telah di tentukan untuk menyelesaikan tugas dari
makalah kami ini. Mudah-mudahan makalah mkalah ini bermanfaat bagi kami yang
merangkainya dan bagi kita semua dalam melakukan perkuliaahn kami ini.
Akhir kata kami menyadari masih banyak teerjadi kesalahan
kami dlam menyusun makalah ini, mka daripada itu,kami mengharapkan kritikan dan
saran yang konstruktif dan inovatif demi meraih yang lebih baik dan apa yang
kami sajikan ini dan perbaikan masa yang akan mendatang,
Jepara, 24
maret 2015
penulis
BAB I
A.LATAR BELAKANG
Metode pembentukan
METODE PEMBINAAN AKHLAK
Standar
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan
perhatian pertama dalam islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi
kerasulan Nabi Muhammad SAW yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.
Perhatian islam yang demikian
terhadap pembinaan akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian islam terhadap
pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, dari jiwa yang
baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap
selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh
kehidupan manusia, lahir dan batin.[1]
Perhatian islam dalam pembinaan
akhlaq selanjutnya dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat pada
seluruh aspek ajaran islam. Ajaran islam tentang keimanan misalnya sangat
berkaitan erat dengan mengerjakan serangkaian amal shaleh dan perbuatan
terpuji. Iman yang tidak disertai dengan amal shaleh dinilai sebagai iman yang
palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan. Dalam Al-Qur’an kita misalnya
membaca ayat berbunyi:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ أَمَنَّا بِاللهِ وَ بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَاهُمْ
بِمُعْمِنِيْنَ
Artinya: Dan diantara manusia
(orang munafik) itu ada orang yang mengatakan: “Kami beriman kepada
Allah dan hadir, sedang yang sebenarnya mereka bukan orang yang beriman.”
(QS.Al-Baqarah: 8-9)
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan rasulNya, kemudian itu
mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di
jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (imanNya). (QS.Al-Hujurat: 15)
Ayat-ayat diatas menunjukkan dengan
jelas bahwa iman yang dikehendaki islam bukan iman yang hanya sampai pada
ucapan dan keyakinan tetapi iman yang disertai dengan perbuatan dan akhlak yang
mulia, seperti tidak ragu-ragu menerima ajaran yang dibawa rasul, mau memanfaatkan
harta dan dirinya untuk berjuang di jalan Allah dan seterusnya. Ini menunjukkan
bahwa keimanan harus membuahkan akhlak, dan juga memperlihatkan bahwa islam
sangat mendambakan terwujudnya akhlak yang mulia.
Pembinaan akhlak juga terintegrasi
dengan pelaksanaan rukun iman dan islam. Hasil analisis Muhammad Al-Ghazali
terhadap rukun islam yang lima dalam menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam
rukun islam yang lima itu terkandung konsep pembinaan akhlak. Rukun islam yang
pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk
kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan Allah
dan Rasulnya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang baik.
Selanjutnya rukun islam yang kedua
adalah mengerjakan sholat lima waktu. Sholat yang dikerjakan akan membawa
pelakunya terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. (QS.Al-Ankabut: 45)
dalam hadits qudsi dijelaskan pula sebagai berikut:
إِنَّمَا
اَتَقَبَّلَ الصَّلَاةُ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِيْ وَلَمْ يَسْتَطِلْ
عَلَى خَلْقِى وَلَمْ يَبِتْ مُصِرًا عَلَى مَعْصِيَتِيْ وَ قَطَعَالنَّهَارَ فِى
ذِكْرِىْ وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالْأَرْمِلَةَ وَرَحِمَ
الْمُصَابَ (رواه
بزّر)
Artinya: Bahwasannya Aku menerima
sholat hanya dari orang yang bertawadhu’ dengan sholatnya kepada keagunganKu
yang tidak terus menerus berdosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk
dzikir kepadaKu, kasih sayang kepada fakir miskin, ibnu sabil, janda serta
mengasihi orang yang mendapat musibah. (HR. Al-BAzzar)
Pada hadits tersebut sholat
diharapkan dapat menghasilkan akhlak yang mulia, yaitu bersikap tawadhu’,
mengagungkan Allah, berdzikir, membantu fakir miskin, ibnu sabil, janda dan
orang yang mendapat musibah. Selain itu sholat (khususnya jika dilaksanakan
berjama’ah) menghasilkan serangkaian perbuatan seperti kesehajaan, imam dan
makmum sama-sama berada dalam satu tempat, tidak saling berebut untuk menjadi
imam, jika imam batal dengan rela untuk digantikan yang lainnya, selesai sholat
saling berjabat tangan, dan seterusnya. Semua ini mengandung ajaran islam.
Selanjutnya dalam rukun islam yang
ketiga, yaitu zakat juga mengandung didikan akhlak yaitu agar orang yang
melakukannya dengan membersihkan dirinya dari sifat kikir, mementingkan diri
sendiri, dan membersihkan hartanya dari hak orang lain, yaitu hak fakir miskin
dan seterusnya. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah untuk
membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih mudah.[2]
Pelaksanaan zakat yang berdimensi
akhlak yang bersifat sosial ekonomis ini dipersubur lagi dengan pelaksanaan
shadaqah yang bentuknya tidak hanya materi, tetapi juga nonmateri. Hadis nabi
di bawah ini menggambarkan shodaqah dalam hubungannya dengan akhlak yang mulia.
تَبَسُمُكَ
فِى وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيُكَ عَنِ
الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِى أَرْضِ الضَّلَالِ صَدَقَةٌ
وَإِمَاطَتُكَ الْأَذَى وَالشَّوْكَ وَالعِظَمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ (رواه بخارى)
Artinya: Senyumanmu (bermuka
manis) untuk saudaramu adalah shodaqah dan amar ma’ruf serta nahi munkar juga
shodaqah dan memberikan petunjuk kepada laki-laki (atau kepada siapa saja) yang
ada di bumi yang sedang sesat, bagimu shodaqah dan (apabila engkau suka)
menyingkirkan batu, duri, atau tulang-tulang yang mengganggu jalan bagimu juga
merupakan shodaqah. (HR. Bukhari)
Begitu juga islam mengajarkan ibadah
puasa sebagai rukun yang keempat bukan hanya sekedar menahan diri dari makan
dan minum dalam waktu yang terbatas tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan
diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang. Dalam hubungan ini
Nabi mengingatkan:
مًنْ
لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ غِى اَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخارى)
Siapa yang tidak suka meninggalkan
kata-kata dusta dan perbuatan yang palsu, maka Allah tidak membutuhkan diri
padanya, puasa meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)
لَيْسَ
الصِّيَامُ مِنَ الْأُكُلِ وَالشُّرْبِ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَاثِ فَإِنْ سَابَكَ اَحَدٌ اَوْ جَهَلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ (رواه إبن حزيمة)
Bukanlah puasa itu hanya menahan
diri dari makan dan minum saja, tetapi bahwasanya puasa itu menahan diri dari
perkataan-perkataan kotor dan omongan-omongan yang keji. Kalau ada seoreang
datang kepadamu memarahi dan mengatakan engkau bodoh (dan sebagainya),
katakanlah “aku sedang berpuasa”.
(HR. Ibnu Khuzaimah)
Selanjutnya rukun islam yang kelima
adalah ibadah haji. Dalam ibadah haji inipun nilai pembinaan akhlaknya lebih
besar lagi dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada ibadah
dalam rukun islam lainnya. Hal ini bisa dipahami karena ibadah haji ibadah
dalam islam bersifat komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu
disamping harus menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan
keras, bersabar dalam menjalankannya dan harus mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit, serta rela meninggalkan tanah air, harta kekayaan dan lainnya.
Hubungan ibadahhaji dengan pembinaan akhlak ini dapat dipahami dari ayat yang
berbunyi:
(Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor (jorok), berbuat fasik dan
berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan ‘niscaya Allah mengetahuinya berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang
berakal. (QS. Al-Baqarah:197)
Berdasarkan analisis yang didukung
dali-dalil Al-Qur’an dan Al-hadis tersebut diatas, kita dapat mengatakan bahwa
islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan akhlak termasuk
cara-caranya. Hubungan antara rukun iman dan rukun islam terhadap pembinaan
akhlak sebagaimana digambarkan diatas, menunjukkan bahwa pembinaan akhlak yang
ditempuh islam adalah menggunakan cara atau sistem yang integrated,
yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara
simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk
pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan
berlangsung secara kontinyu. Berkenaan dengan ini imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha
pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia
akan menjadi orang jahat.
Untuk ini Al-Ghazali menganjurkan
agar akhlak dianjurkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau
tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah,
maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah,
hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabiatnya yang mendarah daging.[3]
Dalam tahap-tahap tertentu,
pembinaan akhlak, khususnya akhlak lahiriyah dapat pula dilakukan dengan cara
paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin
menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus misalnya, pada mulanya ia harus
memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf
yang bagus. Apabila pembiasaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan
tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.
Cara ini yang tak kalah ampuhnya
dari cara-cara diatas dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui
keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran,
intruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak
cukup hanya seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu.
Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada
pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses melainkan jika
disertai dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata.[4]
Cara yang demikian itu telah dilakukan oleh rasulallah saw. Keadaan ini
dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya pada diri
Rasulullah terdapat contoh teladan yang baik bagi kamu sekalian, yaitu bagi
orang yang baik bagi kamu sekalian, yaitu bagi orang yang mengharapkan keridhoan
Allah dan (berjumpa dengannya di) hari kiamat dan selalu banyak menyebut nama
Allah. (QS.Al-Ahzab: 21)
Senada dengan hal itu, Abdullah
Nasih Ulwan berpendapat bahwa seorang pendidik barangkali akan merasa mudah
mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan merasa kesulitan
dalam memahami pesan yang disampaikannya.[5]
Dengan demikian, keteladanan merupakan faktor dominan dan berpengaruh bagi
keberhasilan pendidikan dan metode pendidikan yang paling membekas pada
diri peserta didik.
Tak hanya dengan teladan, metode
nasehat juga sangat dibutuhkan dalam pembinaan akhlak. Dengan metode ini,
seseorang dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa seseorang. Cara
yang dimaksud ialah: Pertama, nasehat hendaknya lahir dari hati yang ikhlas.
Nasehat yang disampaikan secara ikhlas akan mengena dalam tanggapan
pendengarnya. Kedua, nasehat hendaknya berulang-ulang agar nasehat itu
meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk mengikuti
nasehat itu.[6]
Allah Swt. pun menjelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ..
Artinya: Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik..
Selain itu pembinaan akhlak dapat
pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai manusia yang
banyak kekurangannya dari pada kelebihannya dalam hubungan ini ibnu sina
mengatakan jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya ia
lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan
membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan sehingga kecacatannya
itu tidak terwujud dalam kenyataan.[7]
Namun ini bukan berarti bahwa ia menceritakan dirinya sebagai orang yang paling
bodoh, paling miskin dan sebagainya di hadapan orang-orang, dengan tujuan
justru merendahkan orang lain. Hal yang demikian dianggap tercela dalam islam.
Pembinaan akhlak secara efektif
dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan
dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda
menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai kepada
hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlak dapat
disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini pernah dilakukan oleh para ulama’ di
masa lalu. Mereka menyajikan ajaran akhlak lewat syair yang berisi sifat-sifat
Allah dan Rasul, anjuran beribadah dan berakhlak mulia dan lain-lainnya. Syair
tersebut dibaca pada saat menjelang dilangsungkannya pengajian, ketika akan
melaksanakan sholat lima waktu dan acara-acara peringatan hari-hari besar
islam.[8]
Selain metode-metode tersebut,
terdapat pula metode ‘ibrah. ‘Ibrah menurut An-Nahlawi yang dikutip oleh Ahmad
Tafsir, ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada
intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar yang
menyebabkan hati mengakuinya.[9]
Tujuan metode ini adalah
mengantarkan manusia kepada kepuasan pikir tentang perkara keagamaan yang bisa
menggerakkan, mendidik, atau menumbuhkan perasaan keagamaan. Adapun pengambilan
‘ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa
yang terjadi baik di masa lalu atau masa sekarang. Allah Swt. Menegaskan dalam
firmanNya:
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ…
Artinya: Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal…
(QS. Yusuf: 111)
Dalam skripsi ini, metode pembinaan
akhlak yang digunakan ialah metode ibrah. Melalui kisah Nabi Ya’kub as, Nabi
Yusuf as. dan saudara-saudaranya yang disajikan di dalam Al-Qur’an Surah Yusuf,
peneliti diharapkan dapat memahami kandungan ayatnya dan mengambil ibrah dari
perjalanan kisah mereka.
[1] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak
Seorang Muslim. (terj.) Moh. Rifa’I dari judul asli Khuluq Al-Muslim,
(Semarang: Wicaksana 1993), cet. IV, h.13
[2] Ibid., h.12
[3] Imam Al-Ghazali, Kitab Al-Arba’in
fi Ushul Al-din, (Kairo: Maktabah Al-Hindi.t.t.) h.190-191. Lihat pula
Asmaran, As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992),
cet-1, h.45
[4] Ibid., h.16
[5] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani,
1999), h.178
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h.146
[7] Ibnu Sina, Ilmu Akhlak,
(Mesir: Dar Al-Ma’arif.t.t.) h.202-203
[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
h.156-164
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, h.145

No comments:
Post a Comment